Minggu, 07 Oktober 2007

Satu lagi bahan Tiga Budaya nih..

Nah yang ini juga salah satu bahan yang saya pakai untuk menulis posting Tiga Budaya itu. Dalam artikel ini diceritakan sedikit sejarah mengenai penyebaran agama islam di Indonesia yang bukan hanya dilakukan oleeh orang Timur Tengah dan Arab saja. Dari artikel ini pun dapat kita lihat bagaimana hubungan antara Indonesia, Timur Tengah, dan Tiong Hoa sejak dulu dalam berbagai hal, bukan hanya berdagang.

Have a nice reading...


Bukan orang Arab dan India saja yang mengembangkan Islan di Nusantara. Abad ke-15 telah berdiri rezim muslim Tionghoa di Jawa. Ia berhasil merobohkan kedigdayaan Majapahit.

Sang laksamana dari Dinasti Ming, Ceng Ho, mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Ketika berlabuh di kawasan Asia Tenggara, kapal itu berkali-kali menepi ke bibir pantai, antara lain di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Jawa. Pelayaran itu terjadi pada tahun 1405 M.

Di kepulauan Nusantara, mereka berlabuh di Darmaga Samudera Pasai. Laksamana yang lahir tahun 1371 M itu menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Juga, menyempatkan diri kunjung ke Palembang dan Bangka. Iring-iringan armada kapal bergerak ke arah Timur. Ia singgah di Bintang Mas, kini Tanjung Priok Jakarta, dan Muara Jati, Cirebon, Jawa Barat, secara berurutan.

Saat menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong, salah seorang pimpinan armada, sakit keras. Mereka mendarat di pantai Simongan, Semarang, dan tinggal sementara. Namun, Wang akhirnya memutuskan untuk menetap. Dialah cikal bakal warga Tionghoa di tempat ini. Sebagai rasa hormat, Wang mengabadikan Ceng Ho, laksamana pemimpin armada, menjadi sebuah patung, serta membangun Klenteng Sam Po Kong (Gedung Batu).

Armada kembali bergerak. Persinggahan lanjutan adalah Tuban dan Gresik, Jawa Timur. Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tata cara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Lalu, armada bergerak menuju Surabaya dan mendarat tepat di hari Jumat. Di hadapan warga Surabaya, Ceng Ho didaulat sebagai khotib. “Maka tidak mengherankan jika di kota ini pada abad ke-15 sudah terdapat perkampungan Tionghoa Muslim,” tulis Ma Huan dalam Ying-yai Sheng-lan.

Cheng Ho, adalah orang yang berjasa besar dalam misi ini. Bagi masyarakat Indonesia namanya tidaklah asing. Ia orang kepercayaan Kaisar Tiongkok Yongle, berkuasa tahun 1403 sampai 1424, kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Keluarganya bermarga Ma, dari suku Hui, yang mayoritas beragama Islam. Ayahnya seorang pelaut bernama Ma Hadzi, sedang ibunya bernama Wen.

Dengan perjalanannya ia menjadi salah satu muslim Tiongkok yang berandil besar mewarnai corak Islam Indonesia. Apalagi dalam sejarahnya Tiongkok yang kini akrab disebut negeri tirai bambu ini disebut-sebut lebih dulu mengenal Islam. Sahabat Nabi sendiri yang dakwah di sana. “Sejak masa paling awal dari perkembangan agama ini, yakni abad ke-7 M,” tulis Lo Hsiang Lin dalam Islam in Canton in the Sung Period. Tepatnya pada masa khalifah Umar bin Khattab. Waktu itu, ada rombongan muslim dari Arab yang berjumlah 15 orang dipimpin oleh panglima besar yang pernah menaklukkan imperium Persi yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash menghadap kaisar sambil menyerahkan sejumlah cenderamata.

Maklum jika Tiongkok mengenal Islam lebih awal, mengingat antara Arab dan Tiongkok telah terjalin hubungan perniagaan sudah sangat lama melalui jalur sutra atau yang biasa disebut silk road.

Karena itu tidak salah kalau kemudian banyak mubalig yang datang dari sana. Ceng Ho hanyalah satu, dari ratusan muslim Tiongkok yang berdakwah Islam di Indonesia. Sebelum Ceng Ho datang, telah ditemukan komunitas muslim Tionghoa bertebaran di beberapa kota di pesisir pulau Jawa. Satu misal, tahun 1292 sekitar 20 ribu pasukan perang Cina-Mongol mendarat di Karimun Jawa, Jepara, Jawa Tengah dan Tuban, Jawa Timur sebelum mereka bertolak ke Singasari. ”Di antara puluhan ribu tentara itu, ada beberapa tentara yang muslim,” tulis Sumanto al-Qurtuby dalam Arus Cina Islam Jawa.

Cina-Mongol adalah orang-orang Cina di masa rezim Yuan-Mongol (1279-1368), bukan orang Cina berdarah Mongol. Para tentara Cina-Mongol itu, sebagian dari mereka, tidak kembali pulang ke negaranya paska peperangan. Sisa-sisa tentara itu menetap di sepanjang pesisir Jawa. Mereka itu kemudian menikah dengan penduduk pribumi dan beranak pinak. Kelak keturunan mereka akan menjadi sosok “setengah Cina-setengah Jawa” atau anak Indo.

Sebelum kedatangan Ceng Ho, kata Sumanto, relasi Jawa dengan Cina jauh-jauh hari telah terjalin, baik hubungan diplomatik maupun kontak dagang. Hubungan mesra ini terus berlanjut hingga abad ke-15. Nah, pada akhir abad ini, posisi orang-orang Tionghoa di Indonesia menguat.

Akhirnya di bawah kepemimpinan Jenderal Perang Tan Kim Han dari Tiongkok bersama Sunan Ngudung (putra Sultan Mesir juga ayah Sunan Kudus) dan Maulana Ishak (ayah Sunan Giri), mereka berhasil menumbangkan Majapahit. Penyerangan itu atas perintah Pangeran Jin Bun atau lebih dikenal sebagai Raden Patah (1500 – 1518 M) dari Demak.

Bagaimana mungkin kerajaan Demak yang masih seumur jagung berhasil meruntuhkan raksasa Majapahit? Waktu itu, tentara muslim Demak menjalin koalisi dengan Cina, baik ”Cina daratan”, maksudnya pasukan Dinasti Ming, ataupun ”Cina rantau” yang biasa berdagang dan berlayar. Koalisi ini bukan mustahil lantaran Raden Patah seorang Tionghoa. ”Inilah strategi Raden Patah dalam menggalang simpati publik Cina untuk mendukung pendirian Demak sebagai kerajaan Islam maritim,” tulis Sumanto dalam bukunya.

Asal usul Raden Patah sebenarnya masih kontroversi. Apa benar ia keturunan Tionghoa? Yang jelas, teks-teks lokal Jawa menyebut Raden Patah, raja pertama kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa, adalah seorang muslim Tionghoa. Bedanya hanya terletak pada garis keturunan.

Teks lokal Jawa Barat, seperti Sejarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, mengaitkan asal-usul Raden Patah dengan Cina-Mongol yang bernama Cek Ko Po. Sedang teks lokal Jawa Tengah, semisal Babad Tanah Jawi Serat Kanda dan Tembang Babad Demak, mengaitkannya dengan raja Majapahit Brawijaya yang menikah dengan muslimah Tionghoa, bernama Sio Ban Chi atau Putri Cina.

Sejak kekalahan Majapahit, tahun 1471, jaring-jaring kekuasaan Islam menyebar dari ujung Timur sampai Barat di bawah kontrol kerajaan Demak. Bendera Islam menyebar di pesisir pulau Jawa menggantikan kepercayaan Hindu dan Budha. Sumanto menyebut, kerajaan Demak saat itu, dengan istilah rezim muslim Tionghoa.

Jika dicermati, keberadaan muslim Tionghoa di Indonesia ini susah ditampik. Hamparan fakta-fakat sejarah mendukung itu. Pengelana Belanda Loedewicks, yang mengunjungi Banten pada abad 16, menyaksikan eksistensi komunitas muslim Tionghoa. Dokumen VOC menyebutnya dengan istilah Geschoren Chineezen, orang-orang Cina cukuran. Kesaksian ini juga diberikan Ibnu Battutah, pengembara asal Maghrib, yang pada pertengahan abad ke-15 berkeliling dunia menyusuri daerah pesisir, dari Arab sampai Cina dan Asia Tenggara, seperti tertuang dalam Rihlah Ibnu Baththutah, perjalanan Ibnu Battutah.

Cerita penulis, tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Jawa, juga memperkuat bukti adanya muslim Tionghoa. Di daerah-daerah pesisir pulau Jawa, masyarakatnya mengenal beberapa tokoh Cina Islam yang berperan cukup besar dalam proses masuknya Islam ke kawasan ini.

Seperti kisah Gwie-Wan, tangan kanan Sultan Hadlirin (menantu Sultan Trenggono Demak) sekaligus peletak dasar tradisi seni ukir di Jepara, populer dengan sebutan Sungging Badar Duwung. Ada juga Kiai Telingsing (Tan Ling Sing) yang merupakan patner dakwah Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus (w. 1550 M) di Kudus.

Tradisi masyarakat Cirebon menyebut Tan Eng Hoat, Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi’i sebagai tokoh muslim Tionghoa di kawasan itu. Juga, Tan Hong Tien Nio (Putri Oeng Tin), yang menjadi istri Sunan Gunung Jati (1450-1569 M), adalah pelopor dan penggerak Islam di Cirebon dan Jawa Barat.

Tak hanya itu, banyak peninggalan purbakala yang juga membuktikan adanya pengaruh muslim Tionghoa. Ini menunjukkan, bentangan abad 15-16 telah terjadi apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture, persilangan budaya antara orang Tionghoa dan Jawa. Di antara peninggalan sejarah itu adalah dua masjid kuno yang berdiri megah di Jakarta: Masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tray dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan Tamiem Dosol Seeng dan Nyonya Cai.

Bukti fisik lain yaitu ukiran padas di Masjid kuno Mantingan Jepara, menara masjid di Pecinan Banten, arsitektur keraton Cirebon beserta Taman Sunyaragi, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, konstruksi masjid Demak terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi Masjid Sekayu di Semarang, semuanya itu menunjukkan adanya pengaruh budaya Cina.

Bukti-bukti sejarah di atas belum termasuk klenteng-klenteng kontroversial, yang diduga kuat oleh sejarawan sebagai bekas masjid yang dibangun masyarakat Cina pada Abad ke-15 atau ke-16. Klenteng yang dimaksud adalah Klenteng Ancol di Jakarta, juga disebut Klenteng Nyai Ronggeng, Klenteng Taking di Cirebon, Klenteng Gedung Batu di Simongan Semarang, Klenteng Sam Po Kong di Tuban, dan Klenteng Mbah Ratu di Surabaya.

Kalau begitu, apa yang perlu diragukan lagi dari kiprah orang Tionghoa dalam proses masuknya Islam di Nusantara? Karena itu, menjadi wajar jika muncul ”teori Cina”, di samping dua teori yang lahir lebih dulu: teori Arab atau Timur Tengah dan teori India.

Teori Arab adalah teori yang menyatakan Islam masuk Nusantara datang dari Arab tepatnya Hadramaut. Pertama kali dikemukakan oleh Crawfurd, kemudian diikuti oleh sejarawan Indonesia seperti Mukti Ali dan Buya Hamka. Sedang teori India yaitu Islam di Nusantara pertama kali datang dari India tepatnya Gujarat. Dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje, sejarawan Belanda.

Sementara teori Cina dipopulerkan Sumanto al-Qurtuby melalui bukunya Arus Cina Islam Jawa di tahun 2003. Akibat mempopulerkan teori baru ini, Sumanto dituduh tidak mengakui fakta kedatangan Islam dari Timur Tengah atau India. Atas tuduhan itu, Syir`ah mengonfirmasi Sumanto yang kini tinggal di Harrisonburg, Virginia, USA.

Menurutnya, teori Cina bukan berarti menegasikan dua teori sebelumnya. Upaya ini bermaksud memunculkan sisi lain dari fakta sejarah keislaman Nusantara yang selama ini telah ”dimumikan” oleh sebuah rezim untuk kepentingan tertentu. ”Saya tidak menolak kontribusi Timur Tengah dan Arab dalam proses keislaman di Nusantara. Yang saya tolak adalah pendapat yang mengatakan, hanya orang-orang Timur Tengah dan Arab-lah yang berperan dalam islamisasi Nusantara,” tandasnya.

Jadi, banyak pihak yang berjasa dalam proses masuknya Islam di Nusantara ini termasuk orang Arab, India, dan tentu saja Cina.
Syirah/Edisi 62/Februari 2007.Abdullah Ubaid Matraji



(resha)

Tidak ada komentar: